Kim Ji Yeong, Lahir Tahun 1982 — Cho Nam Joo

Buku Kim Ji Yeong, Lahir Tahun 1982 karya Cho Nam Joo adalah salah satu buku yang sangat lama saya antri di iPusnas. Kalau bukan yang terlama, bahkan! Rasanya sudah sekian waktu sejak pertama kali saya mendengar tentangnya. Dan memang bukan buku baru kan!?

Terbit pertama kali di Korea tahun 2016, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sejak 2019. Heran juga ternyata belum ada yang mengulasnya di Klub Buku KLIP. Atau mungkin sudah, tapi saat Podcast KBK belum ada?


Kisah Ibu Rumah Tangga

Menceritakan tentang Kim Ji Yeong, seorang ibu rumah tangga dengan anak berumur satu tahun, yang tiba-tiba menjadi aneh. Dia suka berbicara seakan bukan dirinya sendiri. Pernah dia bertindak seperti teman kuliahnya. Pernah juga berkomentar seperti ibunya.

Suaminya yang khawatir berkonsultasi pada psikiater. Kemudian menyarankan Ji Yeong untuk berkonsultasi juga. Ji Yeong menerimanya. Dia mengaku merasa belakangan lelah, dan menyatakan menyadari sepertinya memang terdampak depresi pasca melahirkan.

Psikiater juga mendiagnosa begitu. Apalagi sebelum hamil Ji Yeong adalah wanita karir yang cukup sukses dalam pekerjaaannya. Namun dari berbagai konsultasi, didapati ternyata kelakuan Ji Yeong didasari banyak hal.

Sejak masa kecil dia menghadapi diskriminasi gender yang kental. Pelecehan terhadap perempuan sejak dari keluarganya, berlanjut di masa sekolah, kuliah, dan kerja. Bahkan setelah menikah dan memiliki anak pun, Ji Yeong masih saja merasakan ketidakadilan ini.

Ada Kim Ji Yeong dalam Setiap Perempuan

Membaca buku ini, seperti kata penutup penulis sendiri dan Kim Go Yeon Ju, seorang sarjana kajian perempuan, di akhir buku, saya ikut merasakan bahwa saya adalah Kim Ji Yeong. AlhamduliLlaah tidak separah itu. Namun ada banyak aspek di mana saya merasa sangat relate. Apalagi kami generasi yang sama. Saya juga ikut merasakan dampak krisis moneter tahun 1997, misalnya.

Saya masih ingat menerima komentar dari dokter kandungan saat diketahui bahwa anak pertama yang saya kandung berjenis kelamin laki-laki. Kalian senang dong? Begitu katanya. Dokter Prancis. Entah apakah karena melihat kami orang Asia. Dan beliau sempat berkunjung ke Bali agak lama.

Saya paling merasakan protes Ji Yeong saat hari raya harus ke rumah mertua. Memang mertua saya tak sememaksa itu. Lagipula kami hampir tak pernah pulang saat hari raya juga sih. Namun komentar nanti Lebaran kita kumpul, kadang kala kurang tepat masuk di hati. Memangnya keluarga hanya mereka? Tak bolehkah saya kumpul dengan ibu dan adik kandung saya sendiri?

Saya juga pernah ngamuk-ngamuk seperti Ji Yeong yang dikomentari bahwa wanita zaman sekarang tak repot lagi dengan segala teknologi. Memangnya pakaian kotor bisa jalan sendiri ke mesin? Lalu setelah selesai dicuci bakal keluar dan menyampirkan diri sendiri ke jemuran? Tertawa miris, saya membacanya.

Setelah menjadi ibu rumah tangga, Setelah menjadi ibu rumah tangga, Kim Ji-yeong sering merasa bahwa masih ada dualisme dalam pendapat orang-orang tentang ibu rumah tangga. Kadang-kadang mereka meringankan situasi dengan berkata bahwa menjadi ibu rumah tangga sama dengan bersantai-santai saja di rumah. Kadang-kadang mereka justru menganggap menjadi ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang paling penting di dunia. Karena apabila sesuatu sudah diberi harga, seseorang harus membayarnya.
(Hal. 149)

Di buku ini penulis mencantumkan banyak sekali bibliografi. Buku yang novel fiksi jadi penuh dengan informasi. Semua sumber statistik adalah tentang Korea Selatan. Namun saya rasa permasalahannya cukup universal, dalam berbagai aspek dan levelnya.

Pentingnya Support System

Saya memahami ledakan himpitan perasaan Ji Yeong. Dia masih cukup beruntung memiliki beberapa orang yang bisa sedikit-banyak menjaga kewarasannya.

Ada ibu guru yang meminta maaf sesudah memarahinya tanpa mengetahui permasalahan sesungguhnya. Sayangnya kemudian ibu guru merelatifisasi kenakalan teman sebangku Ji Yeong sebagai tanda cinta, tanpa menekankan bahwa cara itu tidak tepat.

Ada wanita di dalam bus yang membantunya saat Ji Yeong dikuntit teman kursusnya. Tidak seperti ayahnya sendiri yang menyalahkannya, memarahinya agar lebih berhati-hati dan bersikap pantas, si wanita mengatakan bahwa laki-laki yang melakukan pelecehan lah yang bersalah, bukan para perempuan yang dilecehkan.

Ada Kim Eun Sil, atasan Ji Yeong yang memuji pekerjaannya. Kim Eun Sil juga bertahan tetap bekerja, untuk berusaha menghapuskan perlakuan diskriminatif dan melawan pelecehan seksual di tempat kerja tanpa putusnya.

Ada ibunya sendiri yang tak mau anak-anak perempuannya melepaskan impian demi keluarga dan saudara-saudaranya.

Dan yang menurut saya paling penting: ada suaminya, yang cukup perhatian dan berusaha membantu Ji Yeong sebisanya, meski sering dengan maladroit ... heu ... apa ya? Canggung, kikuk? Awkward lah! Maksud baik, tapi cara kurang tepat.

Buku ini sudah diadaptasikan ke dalam film yang belum saya tonton. Di trailernya saya menangkap peran suaminya ditonjolkan di sana. Semoga bukan karena ingin menampakkan Gong Yoo untuk promosi saja.

Ketika kau merasa terbebani di depan keluargaku, kurasa aku memang seharusnya membelamu. Karena aku bisa lebih mudah berbicara kepada mereka. Sebaliknya, kau juga harus membelaku di depan keluargamu. Bagaimana?
~ Jeong Dae Hyeon (Hal. 134)

Keberadaan mereka mampu menjaga tingkat kewarasan Ji Yeong sehingga masih tetap menjalani hidupnya dengan cukup lancar, dalam menghadapi keseharian, terutama dengan anak yang masih kecil. 

Jangan Ada Ji Yeong yang Lain

Buku ini saya baca dengan cepat. Tak sampai 24 jam sesudah mulai pinjam. Mudah dibaca, dengan bahasa menarik yang tentu tak lepas dari kerja keras penerjemahnya Iingliana dan penyuntingnya Juliana Tan.

Di sini saya diingatkan lagi bahwa mengeluarkan beban pikiran dan perasaan itu penting. Jangan ditumpuk-tumpuk hingga meledak seperti Ji Yeong. Cari teman bicara. Atau tuliskan. Atau kontak saya! Eh? Hehehe. Tapi serius: silakan kontak kalau perlu telinga.

Semoga anak-anak dan cucu perempuan kita, menantu perempuan kita tidak seperti Ji Yeong. Tugas kita lah memepersiapkan mereka. Tak hanya yang perempuan. Namun juga anak dan cucu laki-laki kita. Agar bisa bersikap lebih bijak menghadapi perempuan. Dan tak akan ada lagi Ji Yeong di masa depan.

Membesarkan anak-anak dan generasi berikut bukan hanya kewajiban wanita, melainkan kewajiban seluruh masyarakat. 
(Hal. 188)


Komentar

  1. Wah aku jadi pengen baca juga. Ada ya teh di iPusnas? Drama di hari raya ya I can relate deh, ikut merasakan gundah2 dan emosinya hehe. Tapi bersyukurlah di cerita ini suaminya sabar dan peduli

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yakin, pasti ada bagian2 dari kisah Kim Ji Yeong yg tiap perempuan bisa relate. Asal ga semua aja. Syereeem 🫣

      Semoga beruntung cepet dapet giliran pinjem di iPusnas ya teh. Soalnya saya ngantrinya luamaaaa 😅

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Je Reviendrai avec la Pluie — Ichikawa Takuji

Kita Pergi Hari Ini - Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Detektif Conan (Vol. 100) — Aoyama Gosho