Impossibles Adieux — Han Kang

Impossibles Adieux adalah novel ketiga sekaligus yang paling saya incar dari penulis Han Kang. Novel ini adalah karya terbarunya sebelum meraih Nobel pada tahun 2024. Di Prancis, novel ini sudah menarik saya sejak meraih Prix Medicis untuk Karya Sastra Asing pada tahun 2023.

Saya sendiri baru membelinya April 2025, tak lama sesudah rilis versi poche-nya pada 19 Maret. Saya sudah menyelesaikannya sejak awal Juni. Namun sulit sekali menuliskan ulasannya.

Badai Salju di Jeju

Menceritakan tentang Gyeongha yang secara mendadak diminta oleh sahabatnya untuk pergi ke Jeju. Inseon melukai tangannya sehingga harus ditransfer ke rumah sakit di Seoul. Dia mengkhawatirkan burung nuri peliharaannya yang ditinggalkannya di Jeju.

Inseon memohon Gyeongha untuk berangkat saat itu juga. Namun sesampainya di Jeju, badai salju sedang berlangsung! Tak ada taksi yang bersedia membawa Gyeongha dari bandara ke desa Inseon. Bus pun jarang, dan tak ada yang bisa langsung membawanya ke tujuan.

Setelah menempuh perjalanan yang menegangkan, menunggu minibus lanjutan sampai ke suatu pemberhentian yang merupakan paling dekat dengan tempat tinggal Inseon dan melajutkan dengan berjalan kaki, sampailah Gyeongha. Sayangnya, Ama, si burung Nuri, ditemukannya sudah tak bernyawa dalam sangkarnya. Gyeongha pun memakamkannya di bawah pohon di depan rumah. 

Tak lama kemudian, listrik padam. Gyeongha yang kedinginan menemukan berkas dalam lemari Inseon dan membaca-bacanya di bawah sinar lilin.

Memikat Sekaligus Menantang

Membaca Impossibles Adieux tak urung mengingatkan saya pada Celui qui Revient. Bukan karena pilihan judulnya yang menyangkut tema perpisahan atau pertemuan. Namun karena keduanya sama-sama mengangkat peristiwa di Korea Selatan yang tidak saya kenal sebelumnya.

Di novel ini Han Kang mengangkat peristiwa pembasmian Liga Bodo yang terjadi pada tahun 1948. Lagi-lagi saya perlu googling untuk bisa lebih memahami apa yang terjadi. Dan tentu saja saya tak mendalaminya.

Sesuai yang saya perkirakan, novel ini adalah yang paling menarik untuk saya. Secara garis besar—bukan detil mengenai peristiwa sejarahnya. Dari segi penceritaannya pun lebih memikat. Pasti tak lepas dari penerjemahan yang kali ini dikerjakan oleh Kyungran Choi dan Pierre Bisiou. 

Penerjemahannya terasa lebih moderen ketimbang dua buku yang saya baca sebelumnya. Penulisan nama tokohnya dalam format yang lebih nyaman. Dan yang menurut saya cukup penting adalah membiarkan beberapa istilah tetap dalam bahasa Korea, yang saya rasakan cukup mengganggu saat membaca La Vegetarienne.

Kalau saya baru bisa menulis tentang novel ini, itu adalah karena saya kesulitan mengungkapkan rasa yang saya tangkap. Seperti dua buku Han Kang yang sudah saya baca sebelumnya, kenyataan bercampur aduk dengan impian, khayalan ... dan mungkin juga halusinasi. Mana yang benar-benar terjadi, tak jelas sampai akhir cerita. Dan ini yang membuat Impossibles Adieux sangat berkesan untuk saya. Memikat, sekaligus menantang. Menantang untuk bisa memilah, untuk kemudian memahami jalannya cerita.

Untuk Dewasa

Novel yang berjudul asli 작별하지 않는다 (secara harfiah: "jangan ucapkan selamat tinggal") ini mengambil judul internasional We Do Not Part. Sampai saat menulis ini, saya belum menemukan versi terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Selain tentunya kisah persahabatan, ada tema keluarga yang juga hadir di novel 336 halaman ini. Tema politik, tentu saja. Dengan suasana yang mencekam, ketidakjelasan batas antara kenyataan dan khayalan, serta beberapa adegan kekerasan yang cukup grafis, saya menyarankan novel ini untuk pembaca dewasa.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kita Pergi Hari Ini - Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Je Reviendrai avec la Pluie — Ichikawa Takuji

Detektif Conan (Vol. 100) — Aoyama Gosho