Le Café où Vivent les Souvenirs — Kawaguchi Toshikazu

Akhirnya buku ketiga Kawaguchi Toshikazu terbit dalam versi poche di Prancis! Setelah menunggu termupeng-mupeng (apasih?) tiap kali liburan ke Indonesia melihat sampul buku Dona Dona yang bernuansa pastel manis dan senada dengan Funiculi Funicula 1 dan 2. Yah, sabar-sabar demi biar si Butet ikut membaca.

Jadi nyadar kalau saya tak membuat ulasan buku kedua. Langsung ke Le Café où Vivent les Souvenirs saja yaaa.

Empat Kisah

Di buku ketiga ini, kita dibawa ke kafe Dona Dona di Hakodate. Seperti di dua buku sebelumnya, ada 4 kisah perjalanan melintas waktu: tiga ke masa lalu dan satu ke masa depan.

Adalah Yayoi yang ingin pergi ke masa lalu untuk menemui orang tuanya. Yayoi ingin mengeluarkan kemarahannya karena mereka meninggal dunia tak lama setelah dia lahir, dan membuat hidupnya menderita.

Adalah Todoroki, seorang komedian yang baru saja meraih penghargaan. Dia ingin ke masa lalu untuk menemui istrinya yang sudah meninggal dunia, mengabarkan tercapainya impian bersama mereka itu.

Adalah Reiko yang sangat sedih kehilangan adiknya. Dia masih saja datang ke Dona Dona, menanyakan kapan adiknya yang sebelumnya bekerja di sana itu datang.

Adalah Reiji yang sudah lama bekerja di Dona Dona. Dia ingin menemui Nanako, temannya sedari kecil yang sedang berobat di Amerika. Reiji ingin mengungkapkan isi hatinya.

Kafe Dona Dona

Pewaktuan buku ketiga ini berlangsung 15 tahun sesudah buku kedua. Latar cerita tak lagi di kafe Funiculi Funicula di Tokyo. Kita berpindah ke kafe tempat Yukira Tokita, ibu Nagare, menemani para klien yang hendak melintas waktu. Apakah itu kafe "pusat"? Tak dijelaskan dalam cerita.

Sampul buku versi Indonesia yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama

Kalau cerita berpindah ke sana, itu karena Yukira harus meninggalkan kafenya, dan Nagare diminta mengelolanya. Nagare memercayakan Funiculi Funicula kepada putrinya, Miki Tokita. Tentu saja, sesuai tradisi, bukan Nagare yang menyajikan kopi di Dona Dona. Ada Sachi, putri kecil Kazu, yang baru saja memasuki usia untuk mewarisi kemampuan menyajikan kopi pelintas waktu.

Rumit? 

Tenang, saya juga sempat belibet menelusuri nama-nama Jepang itu. Apalagi sudah setahun berlalu sejak membaca buku kedua. Namun begitu masuk ke cerita, buku yang masih diterjemahkan oleh Géraldine Ondine ini saya baca dengan nyamannya.

Benang Merah

Konsep buku ketiga ini masih sama dengan dua buku sebelumnya. Masih huis-clos, semua adegan terjadi di dalam kafe saja. Ah, ada satu adegan di luar kafe. Di depannya.

Kisah-kisah yang disajikan seperti biasa sebenarnya sedih pada dasarnya, tetapi manis. Tema relasi anak dan orang tua, persaudaraan, hubungan dengan pasangan, dan persahabatan masih kental mewarnai. Dan tentunya tema inti tentang beranjak alias move on!

Saya membacanya dengan cukup cepat. Hanya sempat terhenti saat menjelang akhir kisah ketiga. Bukan karena kisah ketiganya sendiri yang sudah bisa ditebak akhirnya. Namun benang merah ke kisah keempat—yaitu kemungkinan datangnya adegan sedih—yang membuat saya tertahan.

Seperti dua buku sebelumnya, setiap kisah selalu ada benang merah ke yang berikutnya. Bahkan di awal buku ini, ada hubungan erat dengan kisah dari buku sebelumnya.

Menghibur

Seperti biasa, penerbitan versi poche buku ini berdekatan dengan terbitnya buku berikutnya di Prancis. Dari cuplikan Le Café des Au Revoir dicantumkan bahwa kisah yang ada di sana berlangsung satu tahun sesudah buku pertama, Tant que le Café est Encore Chaud. Saya lihat, latar cerita kembali ke Kafe Funiculi Funicula.

Sampai saat saya menulis ini, saya belum menemukan versi Indonesianya. Apakah sudah dalam proses? Apakah masih akan diterbitkan? Atau apakah pembaca Indonesia sudah mulai terlihat bosan? 

Saya sendiri masih penasaran. Ya, saya masih ingin membaca serial ini. Sebuah bacaan yang ringan dan menghibur. Tapi saya akan menunggu versi poche-nya tahun depan saja lagi. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Je Reviendrai avec la Pluie — Ichikawa Takuji

Kita Pergi Hari Ini - Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Detektif Conan (Vol. 100) — Aoyama Gosho