Tant Que le Café est Encore Chaud — Kawaguchi Toshikazu

Buku yang berjudul asli Kôhî ga Samenai Uchi ni (コーヒーが冷めないうちに) ini unik. Saya tertarik karena sequelnya dalam bahasa Indonesia yang diberi judul Funiculi Funicula: Kisah-kisah yang Baru Terungkap dipromosikan dengan gencar. Saya jadi penasaran, mencari versi Prancisnya. Ternyata populer juga. Sudah rilis buku kedua, November 2022 juga. Saya saja yang ketinggalan.

Saya tanyakan ke pemilik toko buku kecil di kota sama saat mengambil pesanan buku L'Inventeur. Waktu itu, saya lupa judulnya apa. Tentang kafe, kata saya. Ternyata dia tahu. Dan kebetulan ada satu eksemplar versi pocket tersisa!


Kopi Pelintas Waktu

Menceritakan tentang sebuah kafe, di mana di dalamnya kita bisa melakukan perjalanan antar waktu. Tapi tak sesederhana itu! 

Pertama, hanya satu tempat duduk yang mungkin untuk itu. Dan kursi itu biasa diduduki oleh sesosok hantu. Kita harus menunggu hantu itu pergi ke toilet (!) untuk bisa mengambil tempatnya. Tak bisa menyuruhnya pergi begitu saja.

Kedua, selama melakukan perjalanan melintas waktu, kita tak boleh meninggalkan tempat duduk itu. Akibatnya, kita hanya bisa ke kafe yang sama, di tempat duduk yang sama. Begitu meninggalkan kursi, kita kembali ke masa kini...

Ketiga, perjalanan ini terbatas waktu. Yaitu hanya selama kopi yang dihidangkan masih panas. Kita harus berusaha menyelesaikan urusan kita di masa lalu dan menghabiskan kopi sebelum dingin untuk kembali ke masa kini. Jika kopi terlanjur dingin, kita akan menjadi hantu!

Dari syarat kedua dan ketiga, disimpulkan bahwa jika kita ingin menemui seseorang, kita harus memastikan bahwa orang itu berada di kafe pada saat yang sama. Dan perjalanan ini hanya bisa dilakukan satu kali. Tidak bisa diulang! Tidak bisa coba-coba!

Buku ini menghadirkan empat perjalanan melintas waktu. Tiga ke masa lalu, satu ke masa depan. Perjalanan yang tidak akan mengubah kondisi masa kini, apapun usaha yang dilakukan saat melintas waktu. 

Teatrikal

Kawaguchi Toshikazu adalah dramawan Jepang yang ternama. Buku Tant Que le Café est Encore Chaud sendiri adalah novel yang diadaptasi dari naskah drama yang memenangi Festival Teater Suginami ke-10 pada tahun 2013.

Dari awal penceritaan, meski dalam bentuk novel, hawa teater sudah terasa. Keseluruhan cerita bersetting di dalam kafe di sebuah gang kecil di Tokyo, yang bernama Funiculi Funicula. Nama kafe inilah yang diambil sebagai judul buku dalam bahasa Indonesia.

Alur cerita bisa dibayangkan secara teatrikal. Seseorang yang datang hanya dideskripsikan dari dalam ruangan dengan suara langkah di tangga yang menurun, berbelok di gang, berhenti di depan pintu, lalu lonceng yang berbunyi karena tersentuh daunnya yang dibuka. Baru kemudian tampak siapa yang masuk.

Buku terbagi menjadi empat bagian. Meski kisah utamanya berbeda, keempatnya tersambung seperti episode drama saja. Saya sendiri menyempatkan berhenti di setiap bagiannya. Seperti waktu turun minum saat kita menyaksikan pertunjukan teater yang sesungguhnya.

Novel ini diterbitkan pertama kali di Jepang pada tahun 2015. Sudah diadaptasi ke dalam film pada tahun 2018 dengan judul internasional Cafe Funiculi Funicula.


Ringan Penuh Pesan

Buku ini ringan. Saya membacanya dengan cukup cepat karena penasaran dengan ceritanya. Apa yang mau dilakukan di masa lalu? Apa yang akan terjadi saat kembali lagi ke masa kini? Apa gunanya ke masa lalu jika tidak bisa mengubah keadaan?

Boleh dibilang, setiap bagian saya selesaikan dalam sekali dudukan. Karenanya saya sengaja "turun minum" dulu sebelum melanjutkan. Kalau tidak, akan sulit berhenti membaca tanpa kepikiran.

Buku ini cocok untuk dibaca santai. Bahasanya sederhana tapi sarat pesan. Tentang komunikasi, hubungan antara suami-istri, anak dan orang tua, ...  tentang takdir. Tentu saja kenyamanan baca ini tak lepas dari kebolehan penerjemah Jepang-Prancisnya, Miyako Slocombe.

Kalau beli dari Desember tapi baru Januari saya menyelesaikannya, itu karena bukunya sempat dibajak oleh putri remaja saya. Butet yang tadinya hanya mau coba-coba, akhirnya terpikat. Kisah yang tidak hepi-hepi amat ending-nya memang sesuai seleranya. Tak sabar ingin membaca buku kedua. Tapi saya tahan dulu, tunggu nanti keluar versi pocket-nya!




Komentar

  1. Menarik sekali ceritanya. Terima kasih Kak atas ulasannya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah mampir. Kl sudah baca, bagi2 ulasannya ya. Siapa tau ada sudut pandang yang terlewat 🤗

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Je Reviendrai avec la Pluie — Ichikawa Takuji

Kita Pergi Hari Ini - Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Detektif Conan (Vol. 100) — Aoyama Gosho