Pulau Batu di Samudra Buatan — Ziggy Zesyazeoviennazabriskie

Setelah menghabiskan Angelique-nya Guillaume Musso, buku Pulau Batu di Samudra Buatan pun menemani akhir liburan kilat saya di Indonesia musim panas 2024 kemarin ini. Saya mulai membacanya setiba di Solo, melanjutkannya sepanjang perjalanan pulang liburan—yang melewati Jakarta, Singapura, dan Abu Dhabi—, dan menyelesaikannya setiba di Prancis, tak sampai seminggu kemudian.

Novel karya Ziggy Zesyazeoviennazabriskie itu sudah menunggu saya sejak November di Solo. Memang saya memesannya online dan dikirim ke sana. 

Terjebak Banjir

Bercerita mengenai penghuni sebuah hotel yang kena banjir. Banjir terus naik dan tak kunjung surut. Saat sudah mencapai lantai 7, manajer hotel memutuskan untuk membuat tempat berkumpul—yang mereka sebut sebagai mezzanine—baru di lantai 14, yang sebenarnya merupakan lantai 13, tapi karena hotel tak boleh punya lantai 13 disebut lantai 14.

Di mezzanine baru itu para tamu hotel yang terjebak berkoordinasi dengan Bpk Kesuma, manajer hotel, dan Bpk Anton, satu-satunya juru masak dari layanan kamar 14 jam yang tersisa di hotel. Mereka bekerja sama, saling membagi tugas untuk bisa bertahan hidup di tengah banjir. 

Suatu hari Ibu Una menyadarkan semua orang: tak ada hujan, mengapa banjir tak kunjung surut?

Mereka pun memutuskan mengirim dua tim ekspedisi untuk mencari bantuan dari luar hotel: satu dari jalur air, dan satu lagi memanjat ke atap hotel. Nn Ratri yang seorang perenang, yang selama itu sudah bertugas sebagai pemancing, adalah yang pertama mengajukan diri sebagai sukarelawan jalur air. Tn Tora yang penyelam dan pemain saksofon mengajukan diri untuk memanjat ke atap hotel.

Namun begitu Nn Ratri melompat dari jendela lantai tujuh ke air, sebuah tembakan mengenai kepalanya. Demikian juga saat Tn Tora menampakkan diri di atap hotel: dia terbunuh oleh tembakan.

Apakah Ibu Una benar: mereka sengaja dijebak di dalam hotel?

Bukan Buku Anak

Sempat ragu saat dibuka pra-pesannya saat itu. Saya kan baru saja kembali dari Indonesia. Baru saja belanja buku di sana. Masak sudah beli buku lagi? Tapi ini kan Ziggy? Penulis favorit, gitu lho! Dan akhirnya dibelilah si buku yang baru bisa saya pegang langsung 8 bulan kemudian itu ... bersama buku Ziggy lain yang terbit Juli 2024: Mari Pergi Lebih Jauh.

Tentu saja saya membaca Pulau Batu terlebih dahulu. Sesuai urutan beli lah, ceritanya. Lagipula yang satu lagi merupakan buku bersambung. Lebih baik baca belakangan, sambil memperpendek jarak dengan terbitnya lanjutannya. Ditambah, tema buku Kita Pergi Hari Ini yang menjadi jilid pertamanya kan lumayan sadis. Saya ingin yang santai-santai saja. Lagi liburan itu, kan!?

Namun tentu saja saya tak berharap banyak. Sejak Tiga dalam Kayu (yang belum berhasil juga saya tulis ulasannya), saya selalu waspada akan buku-buku Ziggy. Tokohnya memang mungkin anak-anak, tapi kontennya jelas bukan buat anak! Dan saya langsung melihat sampul belakangya. Benar saja: untuk 15+! Dan dari bab 1, sudah dikabarkan bahwa seseorang akan mati!

Setelah itu cerita seperti berjalan kalem-kalem saja. Yang membuat saya sempat lupa akan nasib tokoh yang penting itu, sampai saat kejadian ... di akhir buku! Namun jangan salah! Kekaleman kisah tak berlangsung lama. Ketegangan langsung terasa dengan dua adegan penembakan yang berturutan, yang ini bukan termasuk yang dikabarkan mati di bab 1 tadi! Dan penasaran pun sukses melanda. Membuat saya menyelesaikan buku 182 halaman itu dalam waktu tak lama.

Memikat

Karya Ziggy masih memikat. Puas, saya memesannya sejak jauh hari. Meski memo pad-nya sih biasa saja. Tak cukup memberi nilai lebih pra pesan. Apalagi untuk saya yang harus menunggu lama sampai bisa membaca bukunya.

Dari awal, kisah di buku ini sudah terasa aneh: kenapa ada hotel sampai terpencil di tengah kebanjiran? Tak ada cara komunikasi sama sekali kah? Tak ada orang di luar yang menanyakan kabar para penghuni dan pegawainya kah?

Pengulangan mengenai bahwa tidak boleh ada lantai 13 di suatu hotel mungkin membosankan di konteks lain. Di sini, saya merasa terhibur. Ziggy pun konsisten tidak mencantumkan bab 13 ... tapi dengan bab 12 yang dua kali lebih panjang dibanding bab-bab lainnya. Dan seperti hotel, tak ada pula bab 4 yang diganti dengan "bab M"!

Penulisan "Bpk", "Tn", "Nn" menambah kekhasan cerita. Beberapa lelucon seperti biasa berlebihan untuk selera saya, tapi masih dalam batas. Si kembar lima Skala, Dana, Kali, Metro, dan Suji yang digambar sendiri oleh Ziggy sebagai sampul dan ditampilkan di sinopsi di sampul belakang ternyata hanya menjadi bumbu cerita. Bumbu yang sangat mengayakan rasa. Karena ternyata tokoh utamanya adalah ... sang narator! "Bapak yang Baik" ini tak akan saya jelaskan identitas sebenarnya di sini. Baca saja sendiri ya!

Tak Yakin Mengerti

Karena terus terang ... saya bingung dengan akhirnya. Tak yakin mengerti maksud cerita keseluruhannya. Tak yakin pula memahami alurnya. Namun justru itu yang membuat saya suka! Lho? Hahaha.

Yang jelas saya terhibur. Buku ini berhasil membuat saya berseru "lah?" berkali-kali, lalu membuka-buka lagi dari depan mencari-cari di mana saya melewatkan informasi. Sepertinya saya perlu membaca ulang. Suatu saat nanti. Mungkin sesudah selesai membaca Mari Pergi Lebih Jauh?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Je Reviendrai avec la Pluie — Ichikawa Takuji

Kita Pergi Hari Ini - Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Detektif Conan (Vol. 100) — Aoyama Gosho