Neige — Maxence Fermine

Le Printemps des Poètes (Musim Semi Penyair) tahun 2025 ini jatuh pada 14-31 Maret. Club Lecture pun ikut merayakannya dengan memilih buku bertema puisi. Bukan sembarang puisi. Haiku!

Buku yang terpilih menjadi pembahasan pada pertemuan 29 Maret 2025 yang lalu adalah Neige karya pertama Maxence Fermine.

Penyair Haiku

Menceritakan tentang Yuko Akita, yang di usianya di 17 tahun sudah menyelesaikan pendidikannya. Dia ingin menjadi penyair haiku, tak mau meneruskan tradisi keluarganya yang berkarir di ranah religi atau militer. Untuk mengujinya, sang ayah yang merupakan pendeta Shinto, mengirimnya ke gunung. Yuko diminta untuk merenung, dan baru boleh pulang saat sudah menemukan jalannya: militer atau religi. 

Yuko kembali ke rumah di hari ke-7. Dia sudah mantap menjadi penyair. Dia ingin menulis haiku tentang salju. Dia berjanji pada ayahnya untuk hanya menulis 77 haiku tiap musim dingin.

Pada suatu hari, penyair kerajaan yang mendengar mengenai keindahan haiku Yuko datang berkunjung untuk membawanya menjadi penyair di istana. Saat itu Yuko sedang berada di gunung. Sang penyair melihat-lihat haiku karyanya. Katanya, haikunya indah, tetapi kurang berwarna.

Saat Yuko pulang dan mendengarnya, dia marah. Dia mengatakan hanya akan ke istana sesudah 7 tahun berlatih.

Saat penyair kerajaan datang lagi dan Yuko masih tak mau ikut ke istana, sang penyair menyarankan Yuko untuk berguru kepada Soseki, seorang penyair ternama, yang dulu merupakan guru dari penyair istana. Dan keesokan harinya, Yuko berangkat ke selatan Jepang.

Dongeng

Tema Le Printemps des Poètes tahun ini adalah La Poésie. Volcanique (Puisi. Vulkanis). Buku Neige sebenarnya tak fokus pada gunung berapi. Selain memang latar cerita banyak berlangsung di pegunungan Jepang, buku ini juga mengandung tema tentang kreativitas yang bergejolak dan bisa terekspresikan dengan ledakan (erupsi) hebat maupun aliran (lava) yang tenang meski tetap saja panas. Ini bukan kata saya lho ya. Memang begitu interpretasi temanya. Hehehe. 

Pada masa terbitnya di tahun 1999, Neige mendapatkan sambutan yang luar biasa. Kabarnya buku ini diterjemahkan ke dalam 17 bahasa. Saya tak menemukan datanya, bahasa apa saja. Saya bahkan tak berhasil mendapatkan cukup informasi mengenai sang penulis. Padahal beliau cukup aktif menerbitkan buku. Kabarnya, dia lebih populer di Italia ketimbang di Prancis.

Sebagian besar peserta Club Lecture hari itu sangat menyukai novel, yang lebih cocok disebut récits initiaques (kisah?) ini. Ada satu peserta yang menyatakan tidak suka. Memang pada dasarnya dia tidak suka dongeng. Dan novel ini memang bagai dongeng, dengan tokoh utama yang berakhir bahagia bersama dengan jodohnya.

Salah satu peserta merasa kurang sreg akan unsur haiku. Mengapa haiku? Dia tak bisa memahami haiku yang sederhana dengan kata singkat dan lugas. Tidak puitis lah ... kalau dilihat begitu saja. Padahal sebenarnya ada makna yang dalam dari kalimat sehari-hari itu.

Saya sendiri juga tersandung pada haiku. Tapi dari sisi lain.

Indah, tetapi ...

Buku ini indah. Saya tak pungkiri itu. Cara berceritanya dengan kalimat singkat dan sederhana, sejalan dengan prinsip haiku. Di awal cerita, penulis seperti berusaha menyesuaikan paragrafnya hanya 3 kalimat saja. Seperti haiku. Meski kemudian paragraf memanjang, tetap saja pembagian bab yang pendek-pendek membuat saya merasakan suasana haiku di sepanjang proses membacanya.

Yang membuat saya terganjal adalah bahwa penulis mendefinisikan haiku hanya dengan "3 kalimat dan 17 suku kata". Beliau melupakan ketentuan format 5-7-5, yang ini tak diikutinya dalam penulisan haikunya.

Haiku terjemahan yang dikutipnya dari Basso, Issa, dan beberapa penyair Jepang ternama lainnya, saya bisa mengerti. Tak mudah menjaga format 5-7-5. Namun untuk haiku buatan Yuko sendiri, saya sangat terganggu. Hal ini saya ceritakan saat kursus bahasa Jepang Kamis sebelum pertemuan Club Lecture. Dan saya sampaikan juga pada saat pertemuan di hari Sabtu.

Sensei membenarkan ketentuan 5-7-5 yang seharusnya diikuti dalam penulisan haiku dalam bahasa apapun. Sayangnya Nathalie, animatrice kami, tak memiliki informasi apakah Maxence Fermine sempat tinggal di Jepang, atau mengapa dia memilih Jepang sebagai tema buku pertamanya. Namun Nathalie hampir yakin bahwa Maxence Fermine tak menulis haikunya dalam bahasa Jepang untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis.

Tipis tetapi Padat

Buku ini cepat sekali saya selesaikan. Bukan hanya karena tipis, 96 halaman saja. Bahasa yang digunakan pun sederhana. Bab yang pendek-pendek, kadang kala hanya setengah halaman, membuat lebih semangat membacanya. Tipis, tapi padat cerita. Beberapa peserta Club berharap buku ini lebih panjang lagi agar ceritanya lebih bisa dikembangkan.

Lepas dari ganjalan yang saya rasakan, novel ini menarik. Latar cerita pada akhir abad 19 di mana Jepang mulai membuka diri terhadap dunia luar diparalelkan dengan keterbukaan ayah Yuko akan pilihan anaknya dan kisah cinta Soseki ... yang tak akan saya ceritakan di sini laaah. Hehehe.

Kisah pencarian jati diri Yuko ini saya rasa cocok dibaca untuk mereka yang baru belajar bahasa Prancis. Hanya saja, ada konten seksual cukup eksplisit yang mungkin kurang cocok buat mereka yang masih belum melalui usia remaja.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Je Reviendrai avec la Pluie — Ichikawa Takuji

Kita Pergi Hari Ini - Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Detektif Conan (Vol. 100) — Aoyama Gosho