Dua Belas Pasang Mata — Tsuboi Sakae

Terkadang saking lamanya, saya sampai lupa mengapa saya mengantri sebuah buku di iPusnas. Termasuk buku Dua Belas Pasang Mata karya Tsuboi Sakae ini. Waktu mendapatkannya dan melihat bahwa ini adalah buku lama, saya jadi bertanya-tanya, kok bisa?

Mestinya sih buku dengan judul asli 二十四の瞳 (Nijûshi no Hitomi, yang secara harfiah berarti Dua Puluh Empat Mata) ini saya antri karena terpikat informasi penerbitnya. Memang saya follow akun penerbit-penerbit Indonesia untuk mendapatkan informasi mengenai buku-buku menarik. Entah itu terbitan baru, atau karena direkomendasikan untuk alasan tertentu.

Bu Guru Oishi Koishi

Pada 4 April 1928, Oishi Hisako mulai mengajar di sebuah sekolah yang terletak di ujung sebuah tanjung. Dari kampung tempat tinggalnya, tanjung itu dipisahkan oleh sebuah teluk. Untuk ke sekolah, Bu Oishi memilih menggunakan sepeda daripada berjalan kaki sejauh delapan kilometer.

Pada masa itu, belum banyak perempuan yang bersepeda. Ditambah pakaian yang disesuaikan untuk bersepeda, Bu Oishi dinilai penduduk desa tanjung sebagai perempuan moderen ala barat. 

Tidak seperti guru-guru baru sebelumnya, Bu Oishi lekas beradaptasi. Caranya untuk ikut bercanda saat para siswa menggodanya membuat anak-anak lekas akrab dengannya. Bu Oishi yang bertubuh kecil mendapat julukan Bu Koishi, yang berarti kerikil.

Suatu hari kaki Bu Koishi terkilir, dan beliau harus absen mengajar cukup lama. Dua belas siswa-siswi kelas satu yang diajarnya menempuh delapan kilometer berjalan kaki untuk menjenguknya. Bu Koishi yang terharu, menyuguhi mereka makan mie dan mengundang tukang foto untuk mengambil gambar mereka di bawah pohon pinus yang terlihat dari desa tanjung.

Meski menyukai pekerjaannya dan menyayangi siswa-siswinya, Bu Koishi memutuskan berhenti mengajar. Namun dua belas muridnya selalu ada di hatinya. Bertahun-tahun kemudian sekalipun.

Buku Anti Perang

Buku ini manis sekali. Membacanya langsung mengingatkan saya pada novel Botchan-nya yang belum berhasil saya ulas juga sampai sekarang. Percayalah bahwa saya mencobanya, tapi tak tahu harus mulai dari mana.

Buku ini juga menceritakan tentang perjalanan seorang guru: kedatangannya, adaptasinya dengan siswa-siswinya, dengan rekan kerjanya, dengan penduduk lokal, ... Bedanya Bu Koishi memiliki refleks autodérision (self mockery, apa ya, bahasa Indonesianya?) yang membuatnya bereaksi berbeda dengan Botchan.

Mungkin karena Bu Koishi sama-sama orang desa. Meski tak sepelosok desa tanjung, desa pohon pinus juga berada di pesisir pantai, di teluk yang sama. Bu Koishi lebih memahami karakter orang tua siswa di sekolahnya. Memahami sulitnya kehidupan, apalagi saat perang makin intensif.

Di bagian Kata Pembuka (oleh siapa? Penerbit Jepang?) disebutkan bahwa buku ini merupakan buku anti perang. Tanpa banyak teori, saya merasakan kepiluan Bu Koishi menyaksikan patung Kinjiro Ninomiya yang merupakan lambang ketekunan belajar, atau lonceng kuil yang berumur ratusan tahun dilebur sebagai besi tua untuk keperluan perang (hal. 201).

Tak hanya efek secara fisik, kepedihan terasa terutama dalam doktrinasi mengenai kebanggaan ikut berperang. Bahkan perasaan malu memiliki keluarga utuh, di saat yang lain berpencar-pencar.

Penerjemahan yang Mengganggu

Saat menulis ini, saya masih belum menemukan di mana, dan mengapa memasukkan buku ini dalam antrian di iPusnas. Tapi tak mengapa. Menarik kok! Saya membacanya dengan senang dan cukup cepat.

Agak kecewa sih, saat mendapati buku terbitan Gramedia ini ternyata merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, tidak langsung dari bahasa Jepang. Versi terjemahan Miura Akira yang dijadikan referensi itu sudah disusun sejak tahun 1957. Versi bahasa Indonesianya sendiri baru diterbitkan pada tahun 2013.

Saya merasa terganggu dengan sebutan Miss dan Master. Apakah tak bisa disebut dengan istilah bahasa Indonesia? Atau istilah Jepangnya saja sekalian, agar bisa lebih tepat penggunaan san, kun, dan chan. Dengan catatan kaki, misalnya? Seperti halnya "ruangan seukuran delapan tikar" (hal. 237), akan lebih tepat jika tetap menggunakan istilah tatami lalu memberi penjelasan padanannya dalam standar metrik.

Versi yang saya baca di iPusnas merupakan cetakan keempat, bertahun 2021. Dengan perkembangan bahasa Indonesia, saya rasa sudah seharusnya merevisi bunyi ketongan "klik-klak klik-klak" (hal. 28). Kecuali kalau yang perlu direvisi justru kata "kentongan" sendiri? Atau origami "pelayan laki-laki" (hal. 210). Terjemahan dari トレイ kah?

Semoga ke depannya ada revisi penerjemahan dengan merujuk pada buku aslinya. Atau kenapa tidak penerjemahan ulang, langsung dari versi Bahasa Jepangnya?

Kisah yang Hangat

Buku 244 halaman yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1952 ini manis, meski ada pilu. Kisah berlangsung selama 20 tahun. Alur melompat dari tahun 1928 ke empat tahun kemudian, lalu melompat lagi delapan tahun. Kisah mengikuti pertemuan pertama 12 siswa-siswi dengan Bu Koishi, dan berakhir di tahun 1946, saat anak-anak itu sudah menjadi orang-orang dewasa dan mengadakan reuni. 

Novel yang hangat ini sudah diadaptasi ke dalam film, hanya dua tahun sesudah penerbitan bukunya, dan meraih berbagai penghargaan. Selain itu sudah ada juga beberapa adaptasi dalam drama dan satu serial anime.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Je Reviendrai avec la Pluie — Ichikawa Takuji

Kita Pergi Hari Ini - Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Detektif Conan (Vol. 100) — Aoyama Gosho