The Road — Cormac McCarthy

Buku The Road karya Cormac McCarthy yang memenangi Pullitzer 2007 dipilih menjadi bahan Ciné Lecture bulan Januari 2023. Meski acara pemutaran film diikuti diskusi yang diadakan pada tanggal 21 akhirnya tak bisa saya ikuti, saya tetap melanjutkan membaca bukunya. Ingin tahu akhir ceritanya. Apakah sama dengan adaptasi film yang sudah saya tonton sebelumnya di Amazon Prime?

Lelaki dan Anak

Bercerita tentang perjalanan seorang ayah bersama anak laki-lakinya menuju selatan. Setelah terjadinya apokalips, mereka harus mencari tempat tinggal lain. Tempat di mana diharapkan ada makanan, dan lebih aman.

Mereka menyusuri jalan yang muram dan gersang. Semua pepohonan kering. Sepi, jarang ada orang. Untung juga. Karena kanibalisme meraja-lela. Tentu saja Lelaki dan Anak tak mau bertemu dengan mereka.

Mereka harus terus waspada. Setiap terlihat gerombolan orang dari jauh, mereka bersembunyi. Lelaki menyiapkan pistol yang hanya memiliki sisa dua peluru. Bukan untuk mempertahankan diri. Lebih untuk mengancam, menakuti-nakuti. Dan untuk membunuh diri. Karena mereka tak mau menjadi makanan orang lain.

Mereka harus terus berkonsentrasi dalam perjalanan ke selatan menuju pantai itu. Yang tentu saja tak mudah, dengan segala ancaman bahaya dan dalam kondisi persediaan makan yang terus saja menipis.

Film yang Muram

Saat diumumkan film yang terpilih untuk Ciné-Lecture bulan Januari 2023, saya ragu: ikut nggak ya? Membaca sinopsisnya saja sudah suram. Ternyata memang disesuaikan dengan tema Nuit de la Lecture tahun ini, yaitu La Peur, rasa takut.

Tema yang sama juga mewarnai pilihan buku untuk Club Lecture: Le Horla karya Guy de Maupassant yang sudah saya ulas sebelumnya. Namun kali ini rasa takut yang berbeda. Bukan genre fantastis. Bukan juga horor. The Road mengambil genre distopia.

Beruntung saya sempat menonton filmnya terlebih dahulu. Kalau sudah baca bukunya, sepertinya saya enggan menonton adaptasi kisah yang depresif begitu. Seperti membacanya yang memakan waktu lama, saya menonton film yang dirilis 2009 itu dengan susah payah. 

Film yang disutradarai John Hillcoat ini sangat mencekam. Gelap. Muram dari awal sampai akhir. Gradasi abu-abu mendominasi. Sangat depresif. Meski harus saya akui memiliki keindahan tersendiri.

Saya tak mengenali Viggo Mortensen yang kurus kering compang-camping. Dan saya terpana melihat Kodi Smit-McPhee yang sangat mirip Charlize Theron yang memerankan ibunya. Terutama matanya, yang mungkin satu-satunya warna yang saya ingat ada dalam film.

Namanya film, banyak detil dalam buku yang tidak diadaptasikan. Beberapa adegan dikombinasikan. Tak mungkin semua ditampilkan juga. Dan untung juga. Kisah pasca apokaliptik, gelap, muram, ... dan sadis! Tak layak untuk divisualisasikan.

Saya terutama terkesan pada adegan saat mereka sampai di pantai. Lelaki minta maaf pada Anak karena ternyata laut tidak biru. Tetap kelabu. Muram seperti langit, tanah, dan semua bagian dunia yang mereka lewati dalam perjalanan.

Harapan di Tengah Keputusasaan

Agak bingung juga membaca buku ini. Tidak ada tanda dialog. Semua dituliskan dalam bentuk kalimat biasa. Kabarnya memang begitu gaya tulis Cormac McCarthy. Beberapa kali sampai harus menghitung kembali baris-baris yang saya baca karena kehilangan siapa yang berbicara. Apalagi jika penulis menggunakan kata ganti orang ketiga untuk kedua tokoh. "He" dan "he". Dia dan dia. Siapa "dia" yang mana? Lelaki atau Anak?

Memang semua karakter dalam buku tidak bernama. Man, Boy, Woman, ... Hanya Elie, laki-laki tua yang hampir buta yang mereka temui dalam perjalanan saja yang memiliki nama.

Karena sudah terlebih dahulu menonton filmnya, saya jadi memiliki gambaran lebih lebih terarah mengenai bagaimana kondisi pasca apokaliptik. Tak dijelaskan apa penyebabnya. Tak jelas sebagaimana besar dampaknya. Tak jelas juga bapak-anak ini mau ke mana. Ke kehidupan yang lebih nyaman saja. 

Mungkin penulis memang ingin menggambarkan tentang pengharapan. Pengharapan akan masa depan yang lebih menyenangkan, di tengah keputusasaan. Buku ini juga mengisahkan tentang ikatan bapak dan anak yang saling percaya, saling tergantung, untuk bisa terus bertahan.

Oh ya. Akhir bukunya kurang-lebih sama dengan akhir filmnya: terbuka!

Saya sarankan menunggu usia lebih dari 13 tahun untuk membaca buku dan/atau menonton film yang mencekam dan diwarnai kekerasan ini.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Je Reviendrai avec la Pluie — Ichikawa Takuji

Kita Pergi Hari Ini - Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Detektif Conan (Vol. 100) — Aoyama Gosho