I Met Loh Kiwan — Cho Haejin
Mungkin tidak cuma saya yang pertama mengenal nama Loh Kiwan dari film yang dibintangi Song Joongki di Netflix. Saya sendiri belum selesai menontonnya. Saya baru mengetahui bahwa film My Name is Loh Kiwan itu terinspirasi dari buku I Met Loh Kiwan karya Cho Haejin yang saya temukan di DLKL saat mencari bacaan ringan dan pendek demi mengejar setoran Tantangan KBK. Eh?
Short novel dengan hanya 129 halaman, menggoda sekali untuk mengejar membacanya demi badge emas KBK kan!? Hahaha.
Perjalanan Kim-chakka
Menceritakan Kim (tak dijelaskan nama panjangnya), seorang penulis skenario untuk acara televisi. Dia sedang membuat acara yang mengikuti perjalanan seorang remaja bernama Yunju yang menderita tumor di wajahnya. Acara ini bertujuan mengumpulkan dana.
Kim memutuskan untuk menunda operasi Yunju ke hari libur untuk menarik lebih banyak penonton. Diharapkan akan mengundang lebih banyak sumbangan juga. Menjelang operasi, diketahui bahwa tumor Yunju menjadi ganas!
Kim merasa bahwa itu adalah kesalahannya. Dia yang tadinya akrab bagai seorang kakak, tak mau menemui Yunju. Kim memutuskan ke Belgia dengan alasan mencari bahan acara lain: mengikuti perjalanan seorang pencari suaka dari Korea Utara yang bernama Loh Kiwan.
Sampai di Belgia, Kim bertemu dengan Pak, seorang dokter lulusan Prancis yang berasal dari Korea Utara, yang sempat membantu Loh Kiwan dalam mencari suaka. Loh Kiwan ternyata sudah meninggalkan Belgia sejak 3 bulan sebelumnya. Dari London, dia mengirimkan buku catatan harianya ke Pak untuk menjelaskan alasannya meninggalkan Brussel.
Berbeda dengan Filmnya
Sambil membaca, saya mencoba menonton film di Netflix. Sampai saat menulis ini, saya belum menyelesaikannya. Dari yang saya tonton dan hasil membaca reviu asyiknya Kak Lendy Agassi, saya bisa menyimpulkan bahwa adaptasi dalam film sangat berbeda dengan bukunya. Dan itu terus terang membuat saya ragu untuk melanjutkan menonton filmnya.
Banyak sekali perbedaan antara perjalanan hidup Loh Kiwan dalam film dibandingkan di buku. Di dalam film, Kiwan boleh dikatakan langsung jadi gelandangan, sedangkan dalam buku Kiwan selalu memiliki tempat berteduh. Saya menangkap unsur romansa yang ditekankan dalam film. Dalam buku, ada romansa juga untuk Kiwan. Namun hanya di akhir cerita.
Salah satu sangat mengganggu untuk saya adalah bagaimana Kiwan minum air dari botol yang sudah dibuang di tempat sampah. Dengan latar cerita tahun 2019, saya yakin di Brussel kita sudah bisa minum air langsung dari keran. Seperti yang bahkan disebutkan secara eksplisit dalam versi buku yang berlatar cerita tahun 2007!
Sangat tidak logis menggunakan uang yang tak seberapa untuk membeli air dalam botol dan bukannya membeli makanan, sedangkan dia bermalam di sebuah toilet umum. Detil kecil ini adalah salah satu unsur yang membuat saya enggan melanjutkan menonton filmnya. Dan masih ada detil lebih penting lagi.
Saya tak akan menuliskan panjang lebar perbandingannya di sini—mungkin lain waktu dalam tulisan lain? Yang jelas saya jadi paham mengapa film mengambil judul My Name is Loh Kiwan, karena memang menceritakan Loh Kiwan sendiri. Sedangkan novel "hanya" memanfaatkan kisah perjalanan Loh Kiwan sebagai panduan jalannya cerita.
Cho Haejin mengangkat kisah Kim-chakka yang menelusuri perjalanan Loh Kiwan sejak dari sampainya di Brussel hingga keberangkatannya ke London. Kim-chakka mengikuti catatan perjalanan yang dipinjamkannya dari Pak. Penelusurannya itu diparalelkan dengan kondisi perasaan dan pikiran Kim-chakka sendiri. Selain dari catatan perjalanan Loh Kiwan, Kim-chakka juga banyak becermin dari perjalanan hidup Pak.
Kim-chakka sendiri tidak langsung bertemu secara fisik dengan Loh Kiwan. Mereka bertemu di penghujung cerita. Dan itupun tak dikisahkan secara panjang-lebar.
Bukan Novel Politik
Buku yang berjudul asli 로기완을 만났다 ini terbit pertama kali di Korea Selatan pada tahun 2011. Pada tahun 2013, novel pendek ini meraih Penghargaan Sastra Shin Dongyup. Buku yang saya baca di DLKL merupakan versi bahasa Inggris terbitan University of Hawai`i Press pada tahun 2019.
Dalam bab "Afterwords", penerjemah Lee Jieun (yang saya rasa itu bukan IU, heu) menjelaskan banyak hal yang bisa merepresentasikan pemikiran saya dengan lebih terstruktur. Salah satu yang saya garis bawahi adalah bagaimana buku ini tidak bermain dalam ranah politik. Tidak tentang politik Korea Utara—selain sedikit menyinggung tentang langkanya bahan makanan dan sulitnya perekonomian di sana—, tidak juga tentang penyakit parah maupun euthanasia. Ya, ada tema-tema itu di dalamnya!
Seperti yang juga dituliskan penerjemah, buku ini menceritakan tentang bagaimana menjadi manusia dan manusiawi. Di sini juga kita bisa menangkap bagaimana menulis bisa membebaskan Loh Kiwan dan Kim-chakka dari perasaan kebencian terhadap diri sendiri.
Buku yang menurut saya manis dan menarik sehingga bukan hanya karena pendeknya yang membuat saya menyelesaikannya dengan cepat ini bisa dibaca mulai usia remaja.
Komentar
Posting Komentar