Le Chat qui Voulait Sauver les Livres — Natsukawa Sosuke

Sebagai yang sudah teriming-imingi sepanjang liburan di Indonesia, novel Le Chat qui Voulait Sauver les Livres (本を守ろうとする猫の話, Hon o mamorou to suru neko no hanashi) adalah buku pertama yang saya beli sepulang liburan dari Indonesia. Sampul warna-warni versi Indonesianya menarik saya. Namun karena Butet ingin membacanya juga, saya urung membelinya.

Terjemahan Prancis pertama oleh Mathilde Tamae-Bouhon terbit 2022 lalu, Maret 2023 kemarin sudah rilis versi poche (pocket, ukuran saku)-nya. Lumayan. Nggak terlalu bete, gagal membeli versi Indonesianya yang jelas lebih murah. Meski tetap saja, ya lebih mahal. Apalagi ternyata memang ada kenaikan harga buku. Tapi itu cerita lain lagi.

Misi Penyelamatan Buku

Bercerita tentang Natsuki Rintaro, seorang remaja usia SMA yang baru saja kehilangan kakeknya. Tak mungkin hidup sendiri, dia harus pindah ke rumah tantenya di kota lain. Dia pun harus menutup toko buku milik kakeknya.

Dalam masa menunggu kepindahan, seekor kucing yang bisa berbicara datang ke toko buku. Kucing bernama Le Tigre (harimau) itu mengajaknya ke berbagai tempat. Tempat-tempat di mana buku-buku terancam. Rintaro harus berusaha menyelamatkan buku-buku itu.

Mereka mula-mula mengunjungi seseorang yang sudah banyak sekali membaca buku. Dia membaca tanpa henti. Selesai buku satu, bersambung ke buku lain. Buku-buku yang habis dibacanya, disimpannya di dalam rak berpintu kaca yang terkunci. 

Kemudian mereka mengunjungi seorang direktur yang bekerja di dalam ruangan yang terletak jauh di bawah tanah. Dia memotong-motong lembaran-lembaran buku hingga menemukan satu kata yang bisa menggambarkan keseluruhan isi buku. 

Lalu mereka mengunjungi seorang direksi perusahaan penerbitan. Sang direksi memutuskan untuk hanya akan menerbitkan buku-buku laris dan berhenti menerbitkan buku yang kurang pembelinya.

Dan ternyata, tugas Rintaro tak berhenti sampai di situ. Masih ada satu misi lagi yang harus dilakukannya. Sebuah misi yang sangat penting dan tidak boleh sampai gagal.

Isu tentang Buku

Butet konsekuen. Dia benar-benar langsung membaca bukunya begitu kami terima. Tak mau saya dului. Dan dia membacanya dengan cepat.

Saya membaca dengan apriori. Betapa tidak? Butet menceritakan tiap tahap membacanya dengan penuh semangat. Kadang dengan pertanyaan memancing seperti, "Menurut Mama, apakah buku klasik selalu lebih bagus ketimbang buku moderen?"

Dan memang pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang dibahas di dalam novel karya penulis yang juga dokter ini.

Buku ini memaparkan isu-isu tentang buku yang jamak kita dengar. Namun untuk saya, pertama: apa salahnya? Apa salahnya membaca buku hanya sekali lalu menyimpannya? Apa salahnya membuat resume sesingkat-singkatnya untuk memberi gambaran isi buku untuk mereka yang tak suka membaca? Wajar saja jika penerbit berhenti mencetak buku yang ternyata tak laku, kan!?

Kedua: Rintaro—ataupun Le Tigre—tidak memberi solusi. Mereka sekadar mengkritik saja. Sayang sekali buku hanya disimpan. Kejam sekali memotong-motong buku. Buku yang tak laris bisa jadi adalah buku yang bagus. Terus kenapa? Jadi harus bagaimana? Tak saya tangkap penjelasannya. Apalagi tawaran solusinya.

Seperti yang dikatakan Butet, kisah berjalan dengan sangat cepat. Tak dijelaskan dari mana, Le Tigre datang begitu saja. Dan Rintaro menerimanya seakan sudah biasa bertemu dengan kucing yang bisa berbicara. Baru di halaman 59 Le Tigre menyatakan heran akan ketidakheranan Rintaro.

Buku ini menyebutkan banyak referensi karya-karya klasik. Sayangnya, tidak menyebutkan satu pun penulis Jepang. Padahal ada Soseki Natsume, Kawabata Yasunari, Tanizaki Jun'ichirō, atau yang lebih klasik lagi seperti Murasaki Shikibu dan Shônagon Sei. Untuk tidak melupakan penulis lebih moderen seperti Murakami Haruki atau Ishiguro Kazuo yang lebih ng'internasional.

Buku Autodeskripsi

Saya dan Butet tak menangkap apa yang membuat buku ini laris. Karena ada karakter kucingnya kah? Karena itu juga yang menarik kami sih! Hihihihi.

Banyak kalimat-kalimat indah yang bisa dikutip dalam buku ini. Namun secara keseluruhan, kami tak bisa menangkap apa maksud dari buku ini. Bahkan kisah kehilangan dan penyendirian Rintaro, persahabatan, hubungan dengan tantenya ataupun kakeknya rasanya hanya bumbu sebagai latar saja.

Menurut Butet, mungkin buku ini autodeskripsi. Mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai buku yang bisa laris padahal sebenarnya tak cukup berbobot, tidak ada pesan maupun informasi yang disampaikan. Seperti yang dijelaskan dalam buku, penulis berhasil menampilkan buku yang diharapkan oleh pembaca secara umum. Dalam hal ini bahasan tentang ... kucing? Heu, isu tentang buku juga lah yaaa. 

Euh? Jadi ini ulasannya Butet kah? Saya tinggal menulis saja? Hahaha.

Memang saya sepakat dengan Butet. Buku ini seakan autokritik. Penulis Natsukawa Sosuke "menggunakan" namanya yang sudah terkenal sejak buku pertamanya Kamisama no Karute (Rekam Medis Tuhan, belum diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis maupun Indonesia) yang meraih penghargaan Shogakukan Fiction dan Japan Bookseller Award, untuk menulis buku tentang kritik atas beberapa hal yang berkaitan dengan buku, dengan mengaplikasikan pada bukunya sendiri. Dan justru itulah menurut saya, yang membuat buku ini menarik! 

Bingung? Coba baca sendiri saja. Versi bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Gramedia dengan mengambil judul Kucing Penyelamat Buku.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Je Reviendrai avec la Pluie — Ichikawa Takuji

Kita Pergi Hari Ini - Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Detektif Conan (Vol. 100) — Aoyama Gosho