Saga dari Samudra — Ratih Kumala

Setelah menimbang panjang, buku Saga dari Samudra menjadi pilihan kedua saya untuk diboyong ke perantauan. Nama Ratih Kumala tentu berperan besar dalam pemilihan ini. Saya sudah membaca dan menyukai beberapa bukunya. Bahkan saat berangkat liburan, saya masih dalam status meminjam novel pertamanya Tabula Rasa di iPusnas, yang sayangnya tidak bisa saya selesaikan karena keterbatasan waktu.

Sempat ragu memilih buku ini. Sub judul "Cerita Laga" membuat saya berulang memandang, menimbang, membaca sampul belakangnya beberapa kali, di beberapa toko buku, sebelum akhirnya memutuskan membelinya.

Kisah Jaka Samudra

Kisah berawal dari sebuah kapal ekspedisi perdagangan yang berlayar dari Gresik menuju Bali, yang tiba-tiba terhenti di tengah lautan. Setelah salah satu awak kapal terjun ke laut meneliti, didapatinya sebuah peti yang rupanya menahan laju kapal. Di dalam peti, ditemukan sesosok bayi. Dengan berbagai pertimbangan, Nakhoda memutuskan untuk kembali ke Gresik menyerahkan si bayi kepada Nyai Ageng Pinatih sebelum kembali melakukan perjalannya. Saudagar pemilik kapal yang juga syahbandar Gresik itu memutuskan mengangkatnya menjadi anak dan memberinya nama Jaka Samudra.

Pada saat melakukan perjalanan pulang dari pelabuhan, rombongan Nyai Ageng Pinatih dicegat oleh gerombolan Lowo Ireng. Ketika salah satu begal hendak merampas Jaka Samudra, bayi itu memancarkan sinar yang amat terang. Sinar itu membuat Sunan Ampel yang kebetulan sedang berada tak jauh di sana datang membantu. Namun saat Sunan Ampel datang, sinar itu sudah pudar.

Jaka Samudra tumbuh menjadi anak yang baik. Suatu hari dia membantu seorang anak perempuan dari kenakalan temannya. Anak salah satu saudagar di Gresik yang juga saingan dagang ibunya itu marah, dan menyebut Jaka Samudra sebagai anak pungut. Jaka pun mulai bertanya-tanya akan asal-usulnya. Nyi Ageng masih ingin menyembunyikannya. Dia memutuskan mengirim Jaka Samudra untuk berguru kepada Sunan Ampel.

Suatu malam di Ampeldenta, Sunan Ampel melihat ada cahaya yang serupa dengan yang dilihatnya di Gresik. Cahaya itu bersumber dari pondokan para santri. Namun Sunan Ampel tak bisa mengenali, siapa di antara santrinya yang memancarkan cahaya tersebut saking terangnya yang menyilaukan. Karena itu, dia mebebatkan surbannya ke kepala si santri.

Paginya, Sunan Ampel menanyakan pada santrinya, siapa yang terbangun dengan surban di kepalanya. Dan Jaka Samudra lah yang mengakuinya. Di situ Sunan Ampel menyadari keistimewaan santri yang dia selamatkan saat masih bayi itu.  

Novel Biografi?

Dari awal cerita, nama Dewi Sekardadu dan Blambangan sudah menggelitik saya. Familiar. Namun saya tak langsung meng-googling-nya. Dan pelan-pelan, dengan kemunculan Sunan Ampel kemudian disebutkannya beberapa nama Sunan lainnya, saya yakin ini adalah kisah tentang seorang Sunan.

Buku ini padat sekali. Ada banyak tokoh di dalamnya. Ada banyak sekali detil cerita. Beberapa kali saya berpikir, apakah Ratih Kumala terburu-buru saat menulisnya? Pergerakan dari adegan satu ke yang lain berlangsung dengan cepat. Saya kurang puas dengan hanya 193 halaman cerita. Diseling ilustrasi di sana-sini, pula—yang itu menyenangkan mata.

Di sisi lain, saya merasakan bahwa memang beginilah kalau kita bercerita secara oral. Membaca buku ini serasa mendengarkan dongeng saja. Penulis yang merujuk pembaca dengan sebutan Kisanak lebih mendukung gaya penceritaan ini.

Novel ini mengandung banyak fakta. Terutama dari nama-nama tokohnya yang benar-benar ada. Namun apakah kisahnya benar demikian? Untuk beberapa detil, hasil pencarian saya belakangan di internetpun menunjukkan beberapa perbedaan. Dan Ratih Kumala tidak menyebutkan buku ini sebagai novel biografi juga. Bahkan di bab terakhir bukunya, Ratih sendiri menuliskan alternatif lain kisah pelarungan Raden Paku oleh Dewi Sekardadu.

Saga dari Samudra, berkisah tentang Jaka Samudra alias Raden Paku alias Sunan Giri. Bukan tentang samudra, seperti yang saya pikir sebelumnya. Meski memang, kisahnya diawali dengan latar lautan.

Kisah tentang kasih sayang ibu, yang melahirkan maupun yang tak bertalian darah dengan si anak. Tentang persahabatan, pemaafan, balas budi, dan loyalitas. Tentang dakwah, tanpa konten dakwahnya sendiri. Tentang keimanan, dan toleransi antar kepercayaan.

Detail Penyuntingan

Kalau ada yang mengganggu dari buku ini untuk saya adalah lagi-lagi penyuntingannya. Lagi-lagi masalah detail ketidakkonsistenan kecil seperti yang sempat saya temukan di Gadis Kretek. Misalnya saja Sarikem yang di bab 6 memanggil Gandewa dengan sebutan Paman, di bab berikutnya berubah memanggil Pakdhe. Atau sampai di halaman 84 Nyai Ageng Pinatih masih ber-"aku" kepada Sunan Ampel, di halaman 85 tiba-tiba berubah jadi ber-"saya".

Tentu, saya masih sering melakukan ketidakkonsistenan semacam itu. Namun ini kan Ratih Kumala. Ada editor profesionalnya, pula. Atau mungkin karena saya sudah menemukan gangguan serupa saat membaca Gadis Kretek, jadi kali ini lebih sensitif?

Untuk Dewasa

Pada akhirnya, porsi laganya tidak sebanyak yang saya bayangkan. Tidak cukup banyak pertarungan, demikian pula dari segi detil bak-buknya, kalau dibanding dengan cerita laga standar. Tidak berdarah-darah, lah! Namun justru cukup untuk selera saya. Saya menyukainya.


Buku yang baru diterbitkan Gramedia Pustaka Utama Mei 2023 ini—aih, senangnya bisa beli buku yang benar-benar baru—dikategorikan penerbit untuk pembaca 21 tahun ke atas. Namun menurut saya, bisa dibaca mulai usia lebih muda. 17 mungkin? Atau bahkan 15? Memang ada adegan kekerasan seksual sejenis, tapi tidak dideskripsikan secara eksplisit.




Komentar

  1. Novel laga berlatar belakang sejarah ya Teh? Seru kayaknya. Saya belum pernah baca karya Ratih Kumala. Mau nyari ah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Kisah Sunan Giri. Selain buku ini, buku2 Ratih Kumala aku baca di iPusnas mbak. Coba cari deh. Semoga suka juga 🤗

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Je Reviendrai avec la Pluie — Ichikawa Takuji

Kita Pergi Hari Ini - Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Detektif Conan (Vol. 100) — Aoyama Gosho