Ibu Tercinta — Kyung-sook Shin

Buku Ibu Tercinta ini sudah saya pinjam dan selesaikan baca sejak beberapa waktu yang lalu dari iPusnas. Saya sudah memulai menulis ulasan, tapi mandeg. Entah kenapa. Akibatnya? Tentu saja jadi lupa apa yang mau diceritakan.

Setelah mengulang mengantri sekian lama, saya bisa kembali mendapatkannya saat di dalam kereta dari Solo menuju Bandung. Sepertinya perjalanan tujuh jam harus dimanfaatkan untuk menyegarkan ingatan mengenai novel karya Kyung-sook Shin ini. Namun ternyata gagal juga! Bahkan lupa, tak tersentuh sampai masa pinjamnya habis lagi.

Baiklah. Segera tulis sebelum makin banyak yang hilang dari ingatan saja.

Saat Ibu Hilang

Sepasang suami-istri pergi ke Seoul untuk mengunjungi anak-anak mereka. Tak ada satu pun yang sempat menjemput di stasiun, si suami memutuskan untuk naik kereta bawah tanah. Sang istri terpisah di tengah keramaian stasiun, tertinggal saat suaminya naik kereta.

Suami yang baru menyadari setelah melewati beberapa stasiun, segera kembali ke stasiun Seoul. Namun sang istri sudah tak bisa ditemukannya, dan tak ada yang melihatnya.

Sambil tetap melakukan pencarian, semua bertanya-tanya apa yang mereka lakukan tepat di saat si ibu hilang. Mereka mengenang segala interaksi dengannya. Mengenang apa yang sudah banyak dilakukan oleh si ibu untuk mereka, dan segala yang sebenarnya ingin mereka berikan untuk si ibu. Ibu yang diingat banyak orang sebagai pemilik sepasang mata sapi: polos dan ramah.

Sudut Pandang yang Berubah-ubah

Bab 1 novel ini menggunakan sudut pandang orang ke dua. Di sini kisah berpusat pada interaksi ibu dengan anak ketiganya—yang sering dirujuk sebagai putri pertama—, Chi-hon, yang berprofesi sebagai penulis.

Di bab 2, sudut pandang berubah menjadi orang ketiga. Bagian ini menceritakan tentang anak pertama, Hyong-chol, yang begitu bekerja membiayai adik-adiknya satu demi satu. Di halaman 88, baru disebutkan bahwa nama keluarga mereka dalah Yun.

Di bab 3, sudut pandang kembali ke orang kedua. Di sini objek utamanya adalah sang suami. Ada cerita juga tentang kakak si suami alias ipar si ibu. Di bagian ini baru disebutkan bahwa nama si ibu yang hilang itu adalah Park So-nyo.

Bab 4 mengambil sudut pandang orang pertama. Si ibu berbicara pada anak keempatnya, seorang apoteker yang memilih menjadi ibu rumah tangga sepulang merantau di luar negeri. 

Di sini saya bertanya-tanya, apakah sebenarnya dari awal buku naratornya adalah si ibu? Saya jadi membuka-buka lagi bab 1 dan 3 untuk meyakinkan. Tapi tidak. Disebutkan "ibumu" di bab 1 atau "istrimu" di bab 3. Tidak ada "aku" di sana, seperti di bab 4 ini. Atau efek penerjemahan? Entahlah.

Bagian epilog kembali ke sudut pandang orang kedua, dan kembali berputar di sekitar Chi-hon.

Ada yang terlewat? Ya! Anak kedua dan kelima. Keduanya laki-laki. Untuk anak kedua, sempat disebutkan mengusulkan hadiah uang bagi yang bisa memberikan informasi mengenai ibunya yang hilang, di masa lalu pernah protes karena Hyong-chol diistimewakan, diceritakan juga pernah dipukuli polisi anti huru hara, dan ibu pernah mengunjungi kampusnya.

Anak kelima hanya dideskripsikan memiliki toko pakaian online dan suka minum. Padahal dia diceritakan merupakan bungsu kesayangan. Sungguh tidak imbang dibanding anak pertama dan keempat yang masing-masing dikisahkan dalam satu bab. Apalagi jika dibanding anak kedua yang sudah satu bab, ditambah epilog pula.

Pergantian sudut pandang ini menarik juga. Di awal bab, saya tak langsung menangkap siapa yang bercerita. Apalagi pewaktuannya juga melompat-lompat. Ada banyak bagian flashback yang tiba-tiba datang begitu saja. Jadi ada tantangan dalam membacanya.

Pedih Tapi Indah

Membaca buku ini tentu saya jadi teringat ibu saya sendiri. Ada berapa banyak sisi hidupnya yang saya lewatkan? Ada berapa kesedihan dan kekecewaan yang saya timbulkan padanya?

Di lain pihak, sebagai ibu, saya juga jadi mengevaluasi diri. Sudahkah saya cukup berkomunikasi dengan anak-anak saya? Dengan suami saya? Dengan keluarga besar yang lain? Apakah mereka benar-benar bahagia saat saya mengorbankan kebahagiaan pribadi saya sendiri? Adakah jalan lain untuk meraih kebahagiaan bersama meski mungkin harus ada yang perlu ditoleransi?

Selain membicarakan tentang karakter seorang ibu sendiri, buku ini membawa kita memikirkan tentang relasi dalam keluarga; ibu-anak, suami-istri, antar saudara, antar ipar, ...

Buku 296 halaman yang terbit di Indonesia pada Februari 2020 ini sebenarnya cukup pedih. Namun sekaligus indah. Saya berhasil membacanya dalam sekali pinjam. Berkat terjemahan Tanti Lesmana juga, tentunya!

Seingat saya, buku ini baik-baik saja. Tak ada unsur kekerasan maupun vulgaritas seksual. Kenapa dikategorikan ke 17+ oleh penerbit? Padahal rasanya sih sudah bisa dibaca mulai usia remaja. Jelas, saya bisa lupa. Silakan para orangtua membacanya terlebih dahulu saja ya!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Je Reviendrai avec la Pluie — Ichikawa Takuji

Kita Pergi Hari Ini - Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Detektif Conan (Vol. 100) — Aoyama Gosho